Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami tekanan hebat, anjlok hingga lebih dari 6 persen pada perdagangan Selasa (18/3/2025).
Kejatuhan ini mengingatkan pada beberapa momen terburuk dalam sejarah pasar modal Indonesia, termasuk krisis keuangan Asia 1998 dan pandemi covid-19 pada 2020.
Hari ini, IHSG sempat anjlok 6,02 persen ke level 6.058, memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada pukul 11:19 WIB.
Langkah ini diambil sebagai upaya stabilisasi pasar setelah aksi jual besar-besaran yang dilakukan oleh investor, terutama investor asing.
Setelah perdagangan dibuka kembali pada pukul 11:49 WIB, IHSG sempat menyentuh level 6.011 sebelum akhirnya mengakhiri sesi I perdagangan di posisi 6.076.
Berikut perbandingan longsornya IHSG pada era 1998, pandemi covid-19 dan siang ini:
IHSG 1998
Pada 8 Januari 1998, IHSG mencatat penurunan harian terdalam sepanjang sejarah, jatuh hingga hampir 12 persen dalam sehari ke level 347.
Kejatuhan ini terjadi di tengah krisis keuangan Asia 1997-1998 yang melumpuhkan ekonomi Indonesia.
Mata uang rupiah saat itu anjlok tajam terhadap dolar AS, sektor perbankan kolaps, dan banyak perusahaan besar bangkrut akibat tingginya utang dalam valuta asing.
Pandemi Covid-19
Di era modern, salah satu kejatuhan IHSG yang paling signifikan terjadi pada Maret 2020 ketika pandemi covid-19 diumumkan di Indonesia.
Pengamat pasar modal Hendra Wardana mencatat pada 9 Maret 2020, IHSG terjun bebas 6,58 persen ke level 5.136,81, yang menjadi awal dari tujuh kali trading halt dalam beberapa pekan berikutnya.
“Sejak Maret 2020, perdagangan saham di bursa Indonesia mengalami penghentian sementara sebanyak tujuh kali. Penurunan pertama lebih dari 5 persen terjadi pada 9 Maret 2020, hanya sepekan setelah pengumuman kasus pertama covid-19 di Indonesia,” kata Hendra, Selasa (18/3).
Pada 24 Maret 2020, IHSG mencapai titik terendah di level 3.937, turun 37 persen dari awal tahun. Hal ini memaksa otoritas bursa untuk mengubah aturan batas bawah penurunan harga saham, dari sebelumnya 25 persen-35 persen menjadi 10 persen, lalu diturunkan lagi ke 7 persen.
Pengamat Pasar Modal dan Uang Ibrahim Assuaibi membandingkan kejatuhan IHSG hari ini dengan peristiwa di 2019, saat perang dagang AS-China menyebabkan IHSG turun hingga 10 persen ke level 6.056.
“Saat itu, BEI melihat jika penurunan di atas 2 persen sudah berbahaya, di atas 5 persen harus dianalisis, sementara di atas 7,5 persen sudah dianggap sebagai krisis yang memerlukan tindakan cepat,” ujarnya.
Sementara itu, Head of Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menyoroti faktor pemicu kejatuhan IHSG hari ini, yang lebih didorong oleh sentimen ekonomi domestik dan aksi jual besar-besaran investor asing.
“Kami melihat dampaknya merupakan akumulasi dari beberapa sentimen negatif, terutama defisit APBN yang meningkat tajam. Per Februari 2025, defisit mencapai 0,13 persen dari PDB atau Rp31,2 triliun, dibandingkan tahun lalu yang masih surplus Rp26,04 triliun. Penerimaan pajak juga turun drastis, dari Rp400,36 triliun pada Februari 2024 menjadi hanya Rp187,8 triliun di bulan yang sama tahun ini,” jelas Oktavianus.
Menurutnya, kekhawatiran terhadap kondisi fiskal ini mendorong arus modal keluar (capital outflow) secara besar-besaran. Hingga 17 Maret 2025, investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp26,9 triliun.
“Sentimen ini terus mendorong aksi jual di IHSG dan akhirnya ‘meledak’ hari ini, diperparah oleh aksi ambil untung di saham teknologi yang sebelumnya mengalami kenaikan tajam. Tekanan juga terjadi pada saham-saham perbankan besar yang semakin menekan IHSG,” lanjutnya.
Oktavianus juga mencatat panic selling dari investor ritel turut memperburuk situasi, sehingga BEI terpaksa melakukan trading halt untuk meredam volatilitas.
Sejak awal dibuka hingga penutupan sesi I hari ini, IHSG bergerak di rentang 6.011-6.483. ***