Analisa Bagian (1)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan bahan baku minyak goreng mulai Kamis (28/4) lalu.
Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 mengenai Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached, & Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil (UCO).
Keputusan itu diambil demi menyelesaikan masalah kelangkaan pasokan dan tingginya harga minyak goreng di dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir. Kebijakan ini ditargetkan bisa membuat harga minyak goreng curah turun dari kisaran Rp20 ribu menjadi Rp14 ribu per liter.
Meski demikian, Jokowi sadar betul negara tetap membutuhkan penerimaan pajak dari ekspor komoditas tersebut. Karena itu, mantan wali kota Solo itu mengaku bakal mengevaluasi dan mengawasi implementasi larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng ke depan.
“Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, tentu saya akan cabut larangan ekspor karena saya tahu negara perlu pajak,” ungkap Jokowi dalam pernyataanya, Rabu (27/4).
Pendapatan negara dari ekspor komoditas ini memang tidak bisa dianggap remeh, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor CPO berkontribusi sebesar Rp112,82 triliun bagi perekonomian Indonesia sepanjang kuartal I 2022.
Angka ini setara 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berdasarkan Angka Dasar Harga Berlaku (ADHB) yang mencapai Rp4.513 triliun.
Harap maklum, Indonesia memang negara produsen dan pengekspor CPO terbesar di dunia. Sepanjang 2021 saja, ekspor produk minyak sawit Indonesia dan turunannya mencapai 34,2 juta ton.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), nilai ekspor di tahun tersebut mencapai US$35 miliar atau setaraRp509,13 triliun (asumsi kurs Rp14.546 per dolar).
Angka itu 52 persen persen lebih tinggi dari nilai ekspor 2020 sebesar US$22,9 miliar atau setara Rp333,15 triliun.
Masalahnya, pasar ekspor komoditas tersebut, kini terancam diambil alih oleh negara tetangga, Malaysia. Apalagi, selama ini Malaysia adalah pesaing Indonesia di pasar ekspor CPO.
Data ITS perusahaan surveyor kargo menyebut pada 1-5 Mei atau beberapa hari usai larangan ekspor CPO Indonesia, ekspor CPO Malaysia melonjak 67 persen dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan jika ekspor CPO masih dilarang sepenuhnya, Malaysia bisa menjadi pemain nomor satu urusan ekspor CPO di tingkat global. Pasokan dari Malaysia akan banyak diburu oleh importir CPO, seperti India, China dan Eropa.
Ia menyebut pangsa pasar Indonesia untuk ekspor CPO mencapai 55 persen hingga 57 persen kebutuhan dunia. Sedangkan Malaysia 28 persen hingga 30 persen.
Jika Negeri Jiran bisa ‘mengganyang’ 30 persen saja dari pangsa pasar Indonesia, berarti mereka bisa menguasai sekitar 60 persen pangsa pasar global.
“Jadi memang kerugian besar jika larangan ekspor CPO ini dilanjutkan,” ujar Nailul, Senin (9/5/2022).
Walaupun, ia mengakui mengambil alih pangsa pasar Indonesia sebanyak 30 persen adalah tugas berat. Sebagai perbandingan, data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB), produksi CPO mereka sepanjang 2021 hanya mencapai 18,12 juta ton, sedangkan Indonesia 46,88 juta ton.
“Makanya saya rasa akan ada kekurangan pasokan dengan larangan ekspor CPO dari Indonesia ini. Bisa jadi harga CPO global akan naik,” kata Nailul. ***