Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini.
Kawasan Malioboro di Kota Yogyakarta ini merupakan kawasan yang wajib dikunjungi saat berada di Kota Budaya itu dengan berbagai hiburan yang ada. Seorang rekan pernah menyebutkan, tidak lengkap rasanya ke Yogyakarta, tanpa menyempatkan diri ke Malioboro.
Karena itu, ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 1987 an, bersama dengan sejumlah rekan calon mahasiswa, setelah membersihkan diri usai perjalanan darat dari Semarang, penulis langsung bergegas untuk ke Malioboro.
Dengan menumpang becak yang tergolong murah hanya Rp500,- dari tempat penginapan di Jalan Pringgokusuman Yogyakarta yang berjarak sekitar 3 kilometer, jadinya penulis dan rekan menghabiskan waktu hingga malam hari di Malioboro.
Malioboro benar-benar menjadi roh nya di Yogyakarta. Lalu lalang orang setiap harinya, keramahan para pedagangnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang ke Yogyakarta.
Hingga puluhan tahun meninggalkan Yogyakarta kembali ke kampung halaman, bila ada kesempatan tugas atau dinas di luar daerah, penulis yang berasal dari Kalimantan selalu menyempatkan diri singgah ke Yogyakarta, dan selalu ke Malioboro.
Malioboro. Tidak hanya sebagai tempat wisata, namun Jantung Yogyakarta tersebut juga dibuka sebagai pusat perekonomian.
Yogyakarta dengan Malioboro nya serta puluhan tempat wisatanya, keramahtamahan warga, membuat Yogyakarta benar-benar istimewa.
Namun, ke Istimewaan Yogyakarta dengan Malioboro nya belakangan ini, berubah dan tidak bisa disaksikan dan dirasakan seperti puluhan tahun lalu. Pedagang kaki lima yang biasa mengais rejeki disana, direlokasi kesatu tempat yang disiapkan Pemerintah Daerah.
Kebijakan relokasi oleh Pemda DIY bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta ini sudah bulat.
Seluruh PKL di kawasan Malioboro direlokasi pekan terakhir Januari 2022. Terdata sekitar 1.700 PKL yang dipindah ke dua lokasi berbeda, yakni bekas Gedung Bioskop Indra, Ngupasan, Gondomanan dan satu lahan bersifat sementara di bekas Kantor Gedung Dinas Pariwisata DIY.
Penataan pedagang kaki lima (PKL) di sepanjangan trotoar Malioboro dilakukan untuk mengembalikan bentuk asli Malioboro. Penataan dapat memberikan kenyamanan bagi semua pihak yang ada di Malioboro.
Penataan dilakukan dengan mengembalikan fungsi dari trotoar itu sendiri. Malioboro akan diubah seperti Orchard Road di Singapura dalam rangka mendukung Sumbu Filosofi DIY untuk didaftarkan sebagai warisan dunia ke Unesco.
Penataan yang dilakukan dengan merelokasi PKL di sepanjang trotoar Malioboro ini tidak menghilangkan ciri khas dari Malioboro itu sendiri. Penataan PKL tidak akan menghilangkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Malioboro.
Roh Malioboro itu tetap ada dan harus tetap ditonjolkan. Salah satu caranya agar tetap ada daya pikat di Malioboro tidak hilang, jangan sampai kawasan ini dibiarkan seperti jalur pedestrian pada umumnya.
Meski PKL tak lagi dijumpai di selasar kiri dan kanan Malioboro, tetapi sentra wisata belanja di pusat Kota Yogyakarta itu tetap memikat wisatawan asalkan rohnya tetap terjaga. Semoga saja !